Skip to main content
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. berbicara di Bursa Efek New York, New York, 19 September 2022. © 2022 Foto AP/Seth Wenig

Ketika Ferdinand Marcos Jr. memasuki tahun kedua masa jabatannya, Presiden Filipina itu harus memenuhi janjinya untuk membenahi hak asasi manusia dengan tindakan, termasuk pertanggungjawaban atas kejahatan masa lalu, tulis Carlos Conde.

Pembunuhan itu brutal, menurut laporan sejumlah saksi mata di tempat kejadian. Pada malam 14 Juni, orang-orang bersenjata tak dikenal menggerebek rumah sebuah keluarga miskin di sebuah desa di luar Kota Himamaylan, di provinsi Negros Occidental, Filipina tengah. Keesokan paginya, para tetangga menemukan jenazah Roly Fausto (52 tahun), istrinya Emelda (51), dan anak-anak mereka Ben (14), dan Ravin (11). Tidak jauh dari jenazah-jenazah mengenaskan itu ditemukan 53 selongsong peluru dari senapan serbu militer M-16.

Desas-desus tentang para pelaku tersebar cepat. Militer Filipina menyalahkan Tentara Rakyat Baru (NPA) yang berhaluan komunis, menuduh para pemberontak itu membunuh keluarga Fausto karena Roly diduga bekerja untuk militer. Kerabat dan pendukung para korban menyalahkan pemerintah, menuduh militer telah mengusik keluarga Fausto dan memaksa Roly untuk memata-matai kalangan pemberontak.

Sedihnya, pembunuhan terhadap keluarga Fausto adalah yang terkini dari serangkaian pembunuhan yang tampaknya bermotif politik di pulau Negros yang terjadi selama pemerintahan diktator ayah Presiden Ferdinand Marcos Jr. yang berkuasa sejak tahun 1965 hingga 1986, dan juga dilakukan oleh semua presiden sesudahnya. Ini adalah petunjuk yang jelas bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela di bawah pendahulu Marcos, Rodrigo Duterte, tidak berakhir dengan pemerintahan Duterte.

"Perang melawan narkoba" yang dilepaskan Duterte ketika ia menjadi presiden pada tahun 2016, menciptakan kampanye eksekusi di luar proses pengadilan yang belum pernah dilihat rakyat Filipina. Polisi berikut para agen mereka membunuh antara 6.200 tersangka pengedar dan pengguna narkoba – angka resmi – dan sebanyak 30.000 orang – perkiraan oleh kelompok-kelompok hak asasi dalam negeri. Sebagian besar dari mereka adalah kaum miskin kota. Pertanggungjawaban atas berbagai pembunuhan tersebut praktis masih nihil. Marcos dan para pejabatnya telah menolak penyelidikan yang diamanatkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) ketika negara itu masih menjadi anggotanya, dan mencelanya sebagai wujud campur tangan asing.

Marcos pernah mengakui bahwa kampanye anti-narkoba Duterte telah "menyimpang", tetapi dia tak kunjung menghentikan "perang narkoba". Dia tidak memerintahkan polisi untuk menghentikan penggerebekan, dan juga tidak membatalkan instruksi resmi kepada polisi yang menggelar operasi anti-narkoba. Jadi, meski angkat kematian semasa pemerintahan Marcos jauh lebih rendah, pembunuhan terus berlanjut.

Serangan terhadap para jurnalis dan aktivis sayap kiri juga terus berlanjut, difasilitasi oleh media sosial yang sama ganasnya dengan yang berkembang di bawah Duterte, dan sekarang diperkuat oleh para pendukung Marcos. Peraih Hadiah Nobel Perdamaian Maria Ressa, salah satu pendiri situs berita Rappler, masih menghadapi kasus-kasus yang bisa membuatnya dipenjara. Mantan senator Leila de Lima, pengkritik utama Duterte, masih berada dalam tahanan polisi setelah tujuh tahun, penderitaannya diabaikan oleh presiden baru meskipun telah ada permohonan berulang kali oleh para pembela hak asasi manusia dan pemerintah sejumlah negara asing.

Operasi kontra-pemberontakan yang berusaha menaklukkan gerakan komunis bersenjata dan seudah berjalan selama 54 tahun — sekarang jadi yang terlama di dunia — berlanjut di pedesaan, menelan korban jiwa orang-orang seperti keluarga Fausto yang terjebak di antara militer dan Tentara Rakyat Baru. Di berbagai kota, pemerintah telah menggencarkan kampanye “red-tagging” atau “penandaan merah” terhadap para aktivis, pengkritik, jurnalis, anggota serikat buruh, dan lainnya, dengan melabeli mereka sebagai komunis atau pendukung pemberontak. Penandaan merah sering terjadi sebelum serangan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan di luar hukum yang sarat kekerasan

Roly Fausto telah dicap merah berulang kali sebelum dia dan keluarganya terbunuh, menurut kerabat dan sejumlah kelompok hak asasi manusia. Dia tampaknya menjadi perhatian militer ketika mulai berpartisipasi dalam pemberontakan agraria kecil-kecilan, di mana dia dan para petani subsisten lainnya menggarap tanah milik orang lain tetapi dibiarkan menganggur. Praktik ini umumnya dijumpai di daerah pedesaan dan dapat mengakibatkan tindakan hukum, ancaman atau kadang-kadang kekerasan.

Duterte menetapkan standar rendah dalam urusan hak asasi manusia, dan Marcos telah memanfaatkan hal ini untuk memenangkan hati pemerintah sejumlah negara dan diplomat yang ingin percaya bahwa situasi hak asasi manusia di Filipina akan membaik: dia telah secara terbuka menyatakan komitmen untuk melindungi hak asasi manusia, dan pemerintahannya telah terlibat secara signifikan dalam Program Bersama PBB tentang Hak Asasi Manusia,  yang dirancang untuk meningkatkan perlindungan hak asasi manusia melalui reformasi kelembagaan.

Tetapi Marcos perlu mengimbangi kata-katanya dengan tindakan. Mengingat keseriusan masalah hak asasi manusia Filipina, dia perlu melakukan lebih dari sekadar tindakan minimum. Dia perlu menunjukkan bahwa pasukan polisi yang merajalela bukanlah cara untuk mengatasi penggunaan narkoba di negaranya. Dia perlu memperluas ruang demokrasi serta melindungi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang menyusut di masa kepemimpinan Duterte. Dia perlu memastikan bahwa sistem hukum negara memberikan keadilan secara adil dan cepat.

Pelanggaran HAM berat akan terus terjadi hingga ada pertanggungjawaban dan tindakan nyata untuk mengubah berbagai praktik dan arahan yang mengakibatkan pelanggaran. Marcos mungkin dapat memikat para pejabat Barat, tetapi itu tidak ada artinya bagi rakyat Filipina yang terancam seperti  keluarga Fausto, serta banyak orang lain yang hak-haknya dilanggar dan menuntut keadilan.

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country